Petani muda asal Kalimantan Timur, Abimayu bersama Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman.
PENAJAM PASER, KABAR AGRI– Seperti embun pagi yang menyegarkan tanah, semangat baru tengah tumbuh subur di ladang-ladang Kalimantan Timur. Di tengah gelombang digitalisasi dan urbanisasi, seorang pemuda bernama Abimayu justru menanam mimpinya di tanah—dan memetik hasil luar biasa.
Abimayu, petani milenial dari Desa Gunung Mulia, Kabupaten Penajam Paser Utara, menjadi sorotan nasional setelah sukses mengelola lahan pertaniannya secara modern hingga meraup pendapatan bersih sebesar Rp24 juta setiap bulan. Sebuah capaian yang membuat Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman tak kuasa menyembunyikan haru dalam kunjungannya, Jumat (9/5/2025).
“Kami terharu,” ujar Mentan Amran. “Inilah yang kita harapkan—petani muda, bagian dari Brigade Pangan, yang menunjukkan bahwa bertani bukan pekerjaan ketinggalan zaman, tapi masa depan yang cerah.”tambahnya.
Dari Tak Tertarik, Kini Terpikat
Abimayu tidak lahir sebagai petani, dan awalnya tak pernah membayangkan akan menggenggam cangkul dan mengolah sawah. Namun, sejak bergabung dengan program Petani Milenial pada 2023, segalanya berubah.
“Awalnya saya nggak tertarik jadi petani,” akunya. “Tapi sejak ikut program ini, saya merasa tertantang. Ternyata bertani itu bukan cuma soal tanah dan air, tapi tentang inovasi, teknologi, dan keberanian mencoba.”ujarnya seperti dikutip Kabar Agri dari Sindo News.
Kini, dari lahan seluas hanya setengah hektare lebih, Abimayu dan timnya berhasil mendulang cuan hingga puluhan juta rupiah per bulan. Kuncinya? Mekanisasi dan efisiensi.
Alsintan dan Revolusi di Tanah Sawah
Di jantung transformasi ini adalah alat dan mesin pertanian—alsintan. Traktor dan mesin pengolah lahan kini menggantikan tenaga manusia yang sebelumnya memakan waktu dan tenaga.
“Dengan alsintan, satu operator bisa menggarap lima hektare sehari. Biaya pengolahan mencapai Rp800 ribu per hektare. Artinya, seorang operator bisa dapat Rp4 juta dalam sehari,” ungkap Abimayu.
Itu baru dari sisi jasa operator. Efisiensi waktu, tenaga, dan produktivitas membuat pertanian modern seperti ladang emas yang belum banyak digarap.
Tentu, tak lepas dari tantangan. Perawatan alat, bahan bakar, hingga biaya operasional menjadi bagian dari keseharian Abimayu. Namun semangatnya tak surut. Dukungan Kementan, baik dalam bentuk bantuan alsintan maupun pembinaan, menjadi pupuk bagi optimisme yang ia tanam.
“Ini bukan cuma soal uang. Ini tentang masa depan pangan bangsa, dan kami siap jadi bagian dari itu,” katanya penuh semangat.
Selamat Tinggal Tengkulak
Satu perubahan signifikan lainnya adalah hilangnya ketergantungan pada tengkulak. Kini, hasil panen dijual langsung ke Perum Bulog, memberi harga yang lebih stabil dan menguntungkan.
“Dulu kita dijajah tengkulak. Sekarang nggak lagi. Kita jual ke Bulog, dan itu jauh lebih adil,” tegas Abimayu.
Langkah ini bukan hanya memperkuat posisi petani, tapi juga menutup ruang gerak bagi praktik mafia harga yang telah lama merugikan petani kecil.
Seruan dari Sawah untuk Generasi Muda
Di balik senyum dan keberhasilan, Abimayu membawa pesan penting: bertani bukan pekerjaan rendahan. Ia mengajak generasi muda untuk tak ragu menjadikan pertanian sebagai pilihan hidup.
“Jangan malu jadi petani. Dari lahan kecil pun kita bisa hasilkan lebih dari profesi-profesi keren di kota,” ucapnya lantang. “Bertani sekarang beda—lebih modern, lebih dihargai, dan jauh lebih menjanjikan.”
Di tengah riuhnya kota dan hiruk pikuk dunia digital, kisah Abimayu berdiri sebagai pengingat: bahwa masa depan bisa ditanam, dirawat, dan dipanen—asal kita punya cukup keberanian untuk menanam harapan di tanah sendiri (SN/KA).